Diary Biru
Oleh: Ari Susanah
“Hidup tiada berkesan jika tak pernah mengalami ujian dan tantangan, sebab di sana ada doa, harapan, air mata, dan senyuman.” (My quote)
Sekilas tiada yang menarik dalam kisah nyataku ini. Seperti halnya saat ini, apa yang sedang aku alami. Ujian yang harus aku hadapi demi menjadi seorang abdi negara. Di pagi buta, tepat tanggal 14 September 2021 di Hari Selasa, diantar suami dan anak-anakku mengikuti tes seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Jarak yang lumayan berkilo-kilo meter yang harus ditempuh, membuat kami harus bertolak dari pukul 05.00 pagi. Setelah Sholat Subuh kami berpacu dengan waktu di tengah derasnya hujan yang mengguyur tiba-tiba. Mobil Daihatsu Xenia sederhana milik suamiku tak sepenuhnya bisa melindungiku dari kebasahan karena hujan yang begitu derasnya. Sebab setelah mobil keluar, aku harus turun untuk menutup kembali pintu pagar rumah mungil kami yang terletak di ujung perumahan. Otomatis kakiku harus menginjak jalanan yang basah di depan rumah, sehingga sepatuku pun ikut basah meresap hingga ke dalam kaus kaki.
“Perjuangan”, itulah yang tersemat dalam hatiku saat itu. Ditambah sudah sekitar dua bulan kami tidak lagi mempekerjakan pengasuh anak-anak kami. Itulah mengapa aku bukan sibuk belajar, namun sibuk menyiapkan bekal selayaknya akan pergi berkemah. Kepala mulai terasa pening, karena semalaman kurang tidur. Bukan karena sibuk belajar, akan tetapi kepala ini telah dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang mengganggu seputar ujian juga soal bagaimana aku harus membawa anak-anak ikut serta bersama kami.. Pikiran melayang, mata tak mampu terpejam, tapi tak mampu juga berkonsentrasi untuk belajar. Maka, aku pikir dari pada tidak bisa tidur, aku siapkan saja hal-hal yang harus aku bawa untuk bekal ke-tiga jagoan dan suamiku. Di antaranya susu siap seduh, nasi, lauk dan sayur untuk makan siang, lengkap dengan buah-buahannya. Meskipun luar biasa lelah, senyum-senyum sendiri aku dibuatnya. “Ini mau ujian atau mau camping ya?” tanyaku dalam hati.
.
Materi- materi ujian menumpuk baik berupa lembaran modul maupun file-file dalam Handphone. Tak sempat semuanya tersentuh. Justru ketika ingat pelaksanaan ujian pada tanggal tersebut, di sepanjang jalan ke lokasi ujian itu aku hanya ingat jikalau dua hari lagi adalah hari pertunangan kami. Tepatnya 11 tahun yang lalu suamiku meminangku untuk menjadi istrinya.
Suamiku bukanlah lelaki kaya, dan dari segi penampilan pun tak seganteng mantan-mantanku dulu. Namun niatnya yang tulus ketika baru saja bertemu dia langsung ingin meminangku itu yang membuat aku kagum. Sebelumnya kami juga tak saling mengenal. Karena kami dikenalkan oleh salah seorang temannya yang ternyata menjadi teman satu kerja denganku. Dan ketika pertama bertemu dan saling memperkenalkan diri, ternyata suamiku itu adalah guru dari keponakanku, anak dari kakak perempuanku yang aku sempat menumpang di rumahnya.
Seakan gayung bersambut, semua keluargaku menyetujui pinangannya untuk mempersuntingku. Setelah dua kali kami bertemu di bulan Agustus bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 2010, tepatnya tanggal 16 September 2010 kami bertunangan di rumah orang tuaku, di daerah Jawa Tengah.
Mengapa peristiwa berkesan ini tiba-tiba melintas dalam benakku? Padahal seharusnya aku lebih berkonsentrasi ke ujian P3K? Itu karena kisah kasih kami yang begitu alami dan tak pernah terbesit dalam hatiku akan mengalami peristiwa seperti ini dalam hidupku. Aku hanyalah wanita biasa yang tak terlepas dari dosa. Namun kisah cinta kami begitu indah, meskipun tak sempurna.
Sebelum mengenal suamiku yang menjadi imamku saat ini, aku sempat menjalin hubungan dengan seorang lelaki teman kuliah dulu. Namun hubungan itu kandas begitu saja setelah aku memutuskan untuk mengajar, menjadi seorang guru di daerah Bekasi, Jawa Barat. Kami memilih untuk menempuh jalan hidup masing-masing. Setelah 3 tahun menjalani hubungan, mantanku itu ternyata tidak komitmen dengan janjinya. Dia tak mampu menjalani LDR (long distance relationship). Hubungan kami saat itu terbiarkan mengambang begitu saja. Komunikasi yang tidak sehangat dulu sering menjadikan kami salah paham, saling menuduh satu sama lain. Tuntutanku untuk segera meminangku justru terjawab dengan keputusannya untuk menyerah. Dengan alasan ketidaksiapan sebagai seorang laki-laki, dan juga kemapanan yang belum dapat dia raih ketika itu, akhirnya dia memutus tali cinta kita berdua. Aku yang sempat kecewa dengan keputusannya, akhirnya bersyukur dengan takdir indah dari Tuhan saat ini. Betapa tidak, waktu 3 tahun terbuang percuma. Masa berpacaran yang indah menjadi suatu penyesalan yang teramat dalam bagiku.
Dan ternyata bukan hanya aku saja yang merasakan kekecewaan itu. Keluargaku pun sama merasakannya, terutama ayahku. Bagaimanapun hubungan 3 tahun itu bukanlah sesuatu yang singkat. Semua keluargaku telah ikut mengenal sosok lelaki yang menjadi mantanku waktu itu. Bahkan kedua orang tuaku sangat berharap setelah putrinya selesai menempuh studinya, mereka akan menyaksikan putrinya dipinang oleh lelaki pilihannya. Namun ternyata harapan mereka sia-sia. Oleh sebab itu, ketika hadir seorang laki-laki yang tiba-tiba ingin meminangku, dan hanya tahu latar belakangnya adalah seorang guru dari ponakanku, maka mereka menerimanya justru sebelum aku memutuskan untuk menerima pertunangan itu. Orang tuaku hanya berharap putrinya akan bahagia, tak mau larut berlama-lama dalam kekecewaan yang tiada guna..
“Bagaimana dengan hatiku saat itu?”
Luar biasa, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, bisa dikatakan aku belum bisa move on. Akan tetapi hidup harus tetap dijalani. Saat itu aku hanya bisa berserah. Sebenarnya dalam hati kecil ini ada sedikit tanya dan prasangka tentang laki-laki yang saat itu berada di hadapan keluargaku. Apakah dia memang laki-laki baik yang Tuhan kirimkan untukku? Aku belum sama sekali mengenalnya. Tapi waktu sangat mendesak, semua keluargaku tidak memberikan pilihan terhadapku kecuali menjawab kata: “Iya!”
“Sudahlah terima saja!!”
“Bukankah kau tahu, hukum Agama? Tak baik itu pacaran, dan inilah yang terbaik untukmu”
“Ta’aruf saja, dan kemudian sepakati hari untuk segera menikah”
“Oh ya Allah” bisikku dalam hati.
Dan pernikahan kita segera terlaksana pada bulan November 2010.
Aku hanya bisa pasrah dan berserah pada-Mu, lindungilah aku. Bisikkan ini yang terus ada sampai saat ini. 11 tahun berlalu, bukan tidak ada masalah di antara kami berdua. Banyak sekali adaptasi yang harus kami hadapi. Karena bagaimanapun pernikahan kami ini adalah pernikahan lintas suku dan budaya berbeda. Aku terlahir sebagai seorang Jawa, dan suamiku adalah seorang asli dari Suku Betawi yang terlahir di Bekasi. Namun ketika masalah menghampiri, semua aku serahkan kepada-Nya saja.
Dan beruntungnya suamiku termasuk tipe laki-laki sabar. Kami telah dikaruniai 4 buah hati diantara kami berdua. Dari melahirkan ke-4 anak, suamiku dengan sabar menunggu persalinan ku. Kami hanya berdua saja tanpa ditemani siapapun dari keluarga kami berdua. Itu memang menjadi komitmen kami berdua. Kami ingin susah senang kita sama-sama menanggungnya berdua tanpa ada campur tangan keluarga, apalagi orang lain.
Suamiku yang seorang PNS golongan 3 sangat menghargai dan mendukung karirku. Meskipun saat ini aku masih seorang guru honorer di sebuah Sekolah Menengah Pertama. Tinggal selangkah lagi setelah ujian ini selesai aku akan mengantongi SK PPPK ku dari jalur afirmasi Serdik yang telah aku peroleh tahun lalu.
Tak terasa kami sudah sampai di lokasi ujian. Aku tersadar dari lamunan panjang tentang kisah kasih kita. Sederhana namun sangat berkesan.
Meskipun dengan kondisi tubuh yang luar biasa capek, aku tetap bersemangat menyelesaikan soal demi soal selama kurang lebih 3 jam. Tak ku hiraukan lagi kondisi lelah tubuhku dengan baju yang agak lembab basah karena hujan. Semangat dan kekuatan itu kuperoleh dari pasangan hidup yang Tuhan berikan untukku. Suamiku tercinta.
Sampai dengan saat aku keluar ruang ujian, terlihat suamiku dengan setia menungguku. Tidak hanya sekedar menunggu, namun juga menjaga buah hati kami dengan sangat sabar. Terharu diselimuti rasa syukur tak terkira, ku peluk suami dan anak-anakku satu persatu. Semoga perjuangan ini membuahkan hasil yang manis. Aamiin-aamiin ya rabbal’alamiin.
Biodata Penulis
Ari Susanah adalah seorang guru di SMP N 5 Tambun Selatan Kab. Bekasi. Hobinya menulis sejak di bangku Sekolah Dasar. Ibu dari empat anak ini juga suka sekali mendongeng untuk ke-4 buah hatinya. Dia mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis, dan berharap tulisannya akan bermanfaat bagi orang lain. Karya-karya yang pernah dia tulis antara lain adalah, 18 Kisah Guru Inspiratif, 17 Kisah Inspiratif Mendidik Dengan Hati, Kumpulan Cerita Anak, Antologi Puisi Guru Budi, Kumpulan Kisah Inspiratif di Masa Kecil “Seterang Rembulan”, Kumpulan Esai Tentang Ibu “Aksara Hati Untuk Ibunda”, Kumpulan Puisi Tentang Bunda “Kaabadian Kasih Bunda”, Kumpulan Artikel Tentang Budaya Bekasi “Sejuta Pesona Bekasi”, Antologi Puisi untuk Bencana Donggala dan Palu “Elegi Puing Cinta Yang Tersissa”, Cerita Anak Bermuatan Lokal Berkarakter Kab. Bekasi, dan sebuah Novel tunggal “Call Me Jedor”. Istri dari Abdulloh Syafii ini tinggal di Perum Pesona Mutiara Blok B 6 Nomer 1, rt 04 rw o52, Desa Sumberjaya Tambun Selatan Kabupaten Bekasi Jawa Barat 17510. Nomer yangbisa dihubungi 087737787688.